Membaca
ratusan kali transkrip pidato Bung Karno dihari ketiga sidang Dokuritu
Zyunbi Tyoosakai, tentang dasar Indonesia merdeka; yang kemudian menjadi
Pancasila, seakan tak pernah habis kita menggali inspirasi dari isi
kalimat-kalimat yang terucap. Kehadiran
seorang pemimpin yang tepat waktu, tepat jaman dan tepat karakter pasti
akan melahirkan kemaslahatan bagi seluruh bangsa yang dipimpinnya.
Walau karakter seorang pemimpin sering
tidak selalu tepat di setiap jaman dengan kondisinya, namun bicara
kemerdekaan Indonesia saat itu, sulit mencari sosok berkarakter kuat dan
tepat seperti Bung Karno. Secara khusus saat bicara tentang dasar
Indonesia merdeka, kalimat-kalimat Bung Karno sungguh menggelorakan
semangat bangsa ini untuk tegap membusungkan kemampuannya untuk merdeka.
Merdeka lahir batin untuk membangun tanah airnya Indonesia.
Seperti kalimat beliau: “Zwaarwichtig akan perkara yang kecil-kecil” yang maksudnya, selalu njlimet dalam membicarakan hal-hal sepele; tetap saja relevan bila digunakan sebagai inspirasi kondisi
politik hari ini. Bukankah hal itu yang masih sering terjadi di
kehidupan politik bangsa ini. Ketika rakyat sudah berada di ujung tanduk
kekhawatiran atas kesulitan menghidupi keluarganya, masih saja politisi
tempat penitipan aspirasi berdebat bagi kepentingannya yang serba
sesaat.
“Kalau
harus selesai dulu, sampai njlimet, kita tidak akan mengalami Indonesia
merdeka, sampai dilobang kubur”, kalimat mudah yang tak murah. Karena
saat ini penuh makna sebagai kaca bagi semua. Kalau kehidupan politik
bangsa ini masih saja diisi dengan debat kusir, caci maki, njlimet tanpa arti dan berpegang kepada kebenarannya sendiri-sendiri, tumbanglah jembatan emas yang dibangun para pendahulu.
Semua
kalimat yang mengemuka di dalam pidato hari itu adalah atas permintaan
Ketua sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai, agar Bung Karno menyampaikan
pendapatnya. Inti yang hendak dicapai dalam sidang itu adalah disusunnya
dasar Indonesia Merdeka. Dari pidato itulah Bung Karno mengemukakan
pendapatnya tentang dasar Indonesia merdeka, yang kemudian menjadi awal
lahirnya dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila.
Semua
pemikiran yang dikemukakan Bung Karno tentang dasar-dasar bernegara dan
berbangsa dalam pidato itu berhasil membangun sebuah gumpalan semangat
bersama, kalau tidak dikatakan sebagai embrio kesepakatan.
Dasar
mendirikan sebuah negara menurut Bung Karno, bukan sesuatu yang digagas
secara instan, namun jauh hari sebelum negara itu lahir atau merdeka.
Dengan memberikan contoh seperti yang dilakukan Lenin di Uni Soviet,
Adolf Hitler di Jerman, Ibn Saud di Saudi Arabia, juga dr.Sun Yat Sen
dengan San Min Chu I-nya di Tiongkok, Bung Karno mengatakan bahwa
dasar-dasar yang dikemukakannya telah terpikirkan pada tahun 1918,
seperti dasar Kebangsaan.
Sambil
mengutip definisi Ernest Renan yang mengatakan bahwa syarat berbangsa
adalah kehendak bersatu, Bung Karno menyampaikan pemahaman atas
kesadarannya bahwa rakyat Indonesia terdiri dari berbagai perbedaan.
Apakah suku, golongan juga agama. Bung Karno meyakini bahwa Tuhan telah
menciptakan kesatuan-kesatuan dalam kehidupan di bumi, dan kesatuan dari
beribu pulau dan lautan di Indonesia itulah tanah air Indonesia. Selain
Kebangsaan Indonesia, dasar-dasar utama lain yang dikemukakan Bung
Karno dalam sidang itu adalah kedua, Internasionalisme atau
Perikemanusiaan, ketiga Mufakat atau Demokrasi, keempat Kesejahteraan
Sosial, dan kelima adalah Ketuhanan. Kesimpulan yang ingin dikemukakan
Bung Karno tentang dasar negara adalah bahwa Indonesia Merdeka bukan
terjadi begitu saja, namun melalui perjuangan atas dasar-dasar yang
digagas jauh sebelumnya. Sehingga apabila saat ini kita memiliki
Pancasila, itu adalah dasar.
Pancasila
adalah pondasi Indonesia Merdeka. Pancasila adalah pondasi bagi
Jembatan Emas. Pancasila adalah dasar atau pondasi bagi seluruh arah
gerak bangsa Indonesia dalam mencapai masa depannya. Pancasila bukan
pintu, bukan jendela, bukan atap, apalagi hiasan ruang tamu semata.
Sekali lagi Pancasila adalah dasar, pondasi yang harus selalu
dipertahankan agar tetap kokoh. Agar pilar, dinding, pintu sampai atap
diatasnya selalu berdiri tegak. Agar Indonesia tetap tegak berdiri,
berdaulat kuat dengan kakinya sendiri, walau badai persoalan apapun
mendera.
Bung
Karno mungkin memang pemimpin tepat yang dikirim Tuhan di masa itu.
Pemimpin bisa berganti, namun Indonesia akan tetap berdiri tegak.
Pondasi telah dibangun kuat, dan jembatan telah berdiri kokoh untuk
dilalui. Berpulang kepada bangsa Indonesia, apakah akan memiliki
pemimpin-pemimpin selanjutnya yang memahami benar, mengapa para
pendahulu rela mengorbankan nyawa untuk meraih Indonesia Merdeka.
Indonesia Merdeka yang digagas dan diperjuangkan dengan dasar
Kebangsaan, Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan
Sosial dan Ketuhanan. Bukan Indonesia Merdeka yang didasari kepentingan
sempit ego orang per-orang, golongan, agama apalagi Partai Politik.
Membangun Demokrasi
Setiap
momen dalam dinamika politik akan bisa melahirkan manfaat atau
sebaliknya bencana bagi usaha membangun sebuah kehidupan demokrasi.
Momen politik utama yang memberi pengaruh terbesar adalah Pemilihan
Umum. Apakah itu pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
pemilihan umum Kepala Daerah, dan pemilihan Presiden. Hari-hari ini
bangsa Indonesia sedang mengarungi bahtera momen yang paling berpengaruh
itu. Pemilihan Umum DPR dan Pemilihan Presiden.
Berkaca
kepada Pemilu sebelumnya, kita lihat saja hasil Pemilu tahun 2009. Saya
pada awalnya menilai bahwa hasil Pemilu 2009 adalah terbaik sejak era
Reformasi dikumandangkan. Pemerintah terbentuk dari Partai Demokrat,
pemegang suara terbanyak dalam Pemilu DPR atau Partai Politik. Dan
Presiden SBY hadir dari Partai Demokrat pula. Dalam usaha memperkuat
hasil pesta politik yang semakin demokratis tersebut, SBY kemudian
menggagas konsep penguatan kehidupan demokrasi itu dengan membangun
Sekretariat Gabungan Partai Politik pendukung Pemerintah, yang kemudian
dikenal sebagai Setgab Koalisi. Hampir pasti gagasan ini berdasar kepada
niat baik agar jalannya pemerintahan menjadi lebih baik dan hubungan
lembaga dengan DPR semakin jelas, kokoh dan akhirnya bermanfaat bagi
seluruh rakyat. Namun apa yang kita saksikan akhir-akhir ini ternyata
tidak seperti harapan yang ada. Ketidak harmonisan hubungan antara
partai politik yang tergabung didalam Setgab Koalisi, seperti api di
dalam sekam. Hal ini merugikan semuanya, terutama bagi usaha membangun
demokrasi bangsa ini.
Pemilu
2014 sudah di depan mata, bahkan sudah berlangsung. Tentu seluruh
rakyat negeri ini berharap kehidupan politik dan demokrasi Indonesia
semakin baik dari sebelumnya. Saya usulkan, sebaiknya partai politik
yang merasa memiliki kesamaan garis idealisme dengan partai politik yang
lain, dari saat ini sudah membangun kesepakatan , apakah itu bernama
koalisi atau apapun. Sehingga dasar koalisinya nanti berdasar kepada
kesamaan idealisme untuk membangun bangsa. Saya khawatir apabila koalisi
itu dibentuk setelah Pemilu seperti sebelumnya, maka yang terjadi
hanyalah koalisi sesaat yang dasarnya untuk hitungan keperluan jumlah
suara saat itu semata.
Benar,
bahwa siapapun Presiden RI akan selalu menghitung jumlah suara di DPR.
Karena dengan konstitusi yang ada sekarang, sebaik apapun kebijakan
Pemerintah, tak akan serta merta bisa dirasakan manfaatnya oleh rakyat
sebelum diundangkan oleh DPR. Pemerintah menyusun kebijakan dengan
prinsip teknis profesionalisme, namun kebijakan itu bisa dijalankan
setelah mempertaruhkan nyawanya mengarungi gelombang proses politik di
DPR. Sekali lagi untuk membangun demokrasi menjadi lebih baik, partai
politik peserta Pemilu juga harus semakin jelas garis sikapnya.
Selain
itu, pemilihan Presiden-pun menjadi faktor utama semakin baiknya
demokrasi bangsa ini atau tidak. Untuk hal ini, saya berpikir sebaiknya
rakyat lebih aktif menyuarakan aspirasi tentang siapa Pemimpin atau
Presiden harapannya nanti di Pemilu 2014. Lebih baik, misalnya 150 juta
rakyat calon pemilih hari ini menyuarakan 150 juta nama calon
harapannya, daripada rakyat nanti akhirnya terpojokkan pilihannya hanya
pada calon yang digadang-gadang sendiri oleh Partai Politik. Untuk itu
partai politik seharusnya kembali ke habitat sejatinya sebagai wadah
aspirasi rakyat. Kalau partai politik menjalankan kesejatiannya secara
benar, mereka seharusnya mendengarkan suara rakyat sebelum mengajukan
calonnya, bukan sebaliknya.
Apabila
kembali membaca transkrip pidato Bung Karno di dalam sidang Dokuritu
Zyunbi Tyoosakai, bisa kita bayangkan, sebenarnya apa yang ada di benak
Bung Karno, dr.Soekiman, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Abikoesno, Lim Koen
Hian, Yamin, Prof.Soepomo, Moenandar, dan para tokoh nasional peserta
sidang yang lain. Mereka ingin Indonesia Merdeka menjadi negara bangsa
yang bebas, selalu bersatu melindungi semua rakyatnya dengan adil,
mufakat atau demokrasi.
Bahkan
dalam bagian pidatonya Bung Karno dengan lantang mengatakan: ”Karena
monarki “vooronderstelf erfelijkheid”-turun-temurun. Saya seorang Islam,
saya demokrat karena saya orang Islam, saya menghendaki mufakat
(demokrasi), maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negarapun dipilih.
Jikalau suatu hari Ki Bagus Hadikoesoemo misalnya jadi Kepala Negara
Indonesia, dan mangkat, jangan anaknya sendiri otomatis menggantikannya.
Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarki itu”.
Bangsa
ini sudah dibangunkan jembatan emas. Pelajaran yang diberikan para
pendahulu saat memperdebatkan gagasan atas dasar negara, sepantasnya
dimanfaatkan untuk membangun kehidupan demokrasi yang lebih baik ditanah
air. Mungkin kita hari ini perlu kembali lebih sering berseru “Holopis
Kuntul Baris. Gotong Royong buat kepentingan bersama”, seperti semboyan
Bung Karno.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar