terjadinya kudeta di dalam pemerintahan indonesia
Orde Baru lahir dari
peristiwa politik 1965-1966, yaitu dari "kudeta" Partai Komunis
Indonesia (PKI) September 1965 sebagai peristiwa gerakan 30 September atau G-30-S/PKI.
Kekuasaan yang diperolehnya
memang secara substansial didasari berbagai peristiwa politik sebelumnya, yaitu
era kekuasaan politik terpimpin Soekarno atau fase demokrasi terpimpin Orde
Lama. Juga didasari dengan keberadaan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan
realita politik Badan Konstituante 1949-1959 yang deadlock sehingga memberi
jalan pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Pada akhir 1966 dan awal
1967, Soeharto (baca: Orde Baru) mulai mengambil peran untuk menjalankan
tanggung jawabnya memulihkan ketidakstabilan politik. Selanjutnya, Soeharto
melakukan pemaknaan ulang dari tata kehidupan politik pemerintahan Soekarno,
yaitu pemerintahan Orde Lama. Soeharto menegaskan pijakan pemerintahan Orde
Baru merupakan sistem kekuasaan yang tidak terpisah dari derap perjuangan
bangsa dengan segala kelemahan dan kekuatannya, kepercayaan dan kemauan
rakyatnya.
Orde Baru mengadakan
koreksi total dan radikal terhadap segala penyelewengan dan penyimpangan yang
terjadi pada masa-masa sebelumnya. Soeharto, dengan Orde Baru-nya, berketetapan
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Perubahan dilakukan
menyeluruh sebagai koreksi terhadap pelaksanaan pemerintahan sebelumnya,
termasuk dalam perspektif pemberontakan dan pertentangan ideologi ketika awal
kemerdekaan pada periode 1945-1950, 1959 hingga 1966, seperti aksi
pemberontakan "tiga daerah" dan pecahnya pemberontakan komunis di
Madiun yang berusaha mengalihkan, menghentikan, serta menyelewengkan cita-cita
bangsa dan cita-cita negara.
Sementara itu, pada sisi
tertentu berbagai aksi kolonialisme masih menginginkan Indonesia menjadi daerah
koloninya. Tahun 1950-1959 muncul penyelewengan ke arah negara federal Republik
Indonesia Serikat (RIS) dengan sistem demokrasi liberalnya.
Hal lain tercermati pada
gerakan bersifat federalis dan separatis seperti gerakan Andi Aziz, Angkatan
Perang Ratu Adil (APRA), Republik Maluku Selatan (RMS), serta gerakan ekstrem
kanan seperti Ibnu Hajar, Kartosuwiryo, Kahar Muzakar dan DI/TII, pemberontakan
Batalion 426 di Jawa Tengah, dan pemberontakan di Purworejo. Sedangkan dalam
tubuh militer Indonesia, terjadi perpecahan yang mengancam keutuhan dan
kedaulatan Indonesia, yaitu hadirnya PRRI-Permesta dan Peristiwa 17 Oktober
1952.
Bahkan, pada fase 1959-1965
terjadi penyelewengan terhadap pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945, yang
diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 1959. Pada periode ini Pancasila
diidentifikasi sebagai nasionalis, agama, dan komunis (nasakom). Demokrasi yang
harus dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dijadikan
demokrasi terpimpin, kedaulatan rakyat diganti suara pemimpin "pemyambung
lidah rakyat", Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu dibubarkan,
kebebasan pers dihambat atau ditiadakan, hukum konstitusi diganti dengan hukum
revolusi, presiden diangkat seumur hidup, kekuasaan MPRS diambil alih menjadi
kekuasaan pemimpin besar revolusi.
Sementara itu, pada prinsip
ikut terlibat dalam ketertiban dunia dikhianati menjadi politik konfrontasi.
Dan pada politik bebas aktif dijadikan politik luar negeri berporos
Jakarta-Peking-Pyongyang, sehingga PKI dan komunisme Indonesia dapat berkembang
pesat.
Dengan pendekatan
stabilitas dan pembangunan, Orde Baru secara perlahan mulai mengambil peran
terhadap segala pertentangan yang ada dari kekuasaan Orde Lama. Dalam Sidang
Umum IV MPRS, Letjen TNI Soeharto diangkat sebagai pengemban ketetapan No
IX/MPRS/1966 dan sekaligus ditugasi membentuk Kabinet Ampera dengan tugas pokok
Dwi Dharma, yakni menciptakan stabilitas politik dan menciptakan kestabilan
ekonomi. Di samping itu dengan program Catur Karya.
Lalu berdasarkan Sidang
Istimewa MPRS tahun 1967 di mana Soeharto diangkat menjadi pejabat Presiden RI,
ia meluruhkan dan memenangkan konflik dualisme kepemimpinan Indonesia, termasuk
dualisme dalam penafsiran tentang Pancasila dan UUD 1945 serta tindakan
menyaring ajaran-ajaran Soekarno. Dengan kekuasaannya sebagai pejabat presiden,
Soeharto mulai menjalankan tahapan-tahapan perubahan. Pertama, penghancuran PKI
pada 12 Maret 1966 yang secara formal PKI dibubarkan dan tidak lagi mengambil
bagian dalam mekanisme politik Indonesia hingga saat ini.
Berdasarkan Sidang Umum V
MPRS pada 27 Maret 1968 dengan ketetapan No XLIV/MPRS/1968 yang mengangkat
pengemban ketetapan No IX/MPRS/1966 sebagai Presiden RI, Soeharto membentuk
Kabinet Ampera untuk mengembalikan kestabilan politik dan merencanakan
pembangunan ekonomi. Dalam sidang ini, melalui ketetapan No XLI/MPRS/1968
menetapkan tugas pokok Kabinet Pembangunan yang pokok-pokoknya disebut Panca
Krida, yakni menciptakan stabilitas politik dan ekonomi, menyusun dan
melaksanakan rencana pembangunan lima tahun (Repelita).
Termasuk di dalamnya
menyelenggarakan pemilihan umum sesuai dengan ketetapan No XLII/MPRS/1968,
yaitu mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis
sisa-sisa G30S/PKI dan setiap perongrongan, penyelewengan, serta pengkhianatan
terhadap Pancasila dan UUD 1945, melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan
secara menyeluruh aparatur negara dari tingkat pusat sampai daerah.
Soeharto dengan Orde
Baru-nya mulai meletakkan inti pemikirannya dalam security and prosperity
approacch. Dari Ketetapan MPRS 1968 itu, selanjutnya Orde Baru membangun
program kerja pemerintahannya dalam tahapan Repelita, yang diikat sebagai
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Sementara itu, jika dibandingkan dengan pemerintah sesudahnya hingga
kini, yaitu sebatas berdasarkan visi Indonesia masa depan (Tap MPR RI No
VII/MPR/2001) dan bersandar pada visi dan misi presiden atau program partai
politik yang dominan berkuasa di pemerintahan. Mungkin pada GBHN dan Repelita
inilah sepatutnya pemerintahan sekarang menapaki substansi yang sesungguhnya
baik dan secara prinsip dapat dilanjutkan sehingga pembangunan bisa diukur dan
terawasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar