Orde
Lama adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soekarno di Indonesia.Orde Lama
berlangsung dari tahun 1945 hingga 1968. Dalam jangka
waktu tersebut, Indonesiamenggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando.Di
saat menggunakan sistem ekonomi liberal, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer.
Presiaden Soekarno di gulingkan waktu Indonesia menggunakan sistem ekonomi komando.
Pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) melantik Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hattasebagai
Wakil Presiden dengan menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa hari
sebelumnya. Kemudian dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai
parlemen sementara hingga pemilu dapat dilaksanakan. Kelompok ini
mendeklarasikan pemerintahan baru pada 31 Agustus dan menghendaki Republik Indonesia
yang terdiri dari 8 provinsi: Sumatra, Kalimantan (tidak termasuk wilayah Sabah, Sarawak
dan Brunei), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku (termasuk Papua) dan Nusa Tenggara.
Pada masa
sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai
dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil
Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3
November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal
bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan.
Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian
Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres
No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran
partai-partai. Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10
partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai
berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan
PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan
Masyumi dibubarkan.
Dengan
berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini
tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan
politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan
pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan
“Deklarasi Bogor.”
Secara umum, hubungan Mohammad Hatta sebagai
Wakil Presiden dengan Soekarno sebagai Presiden, sangat dinamis, bahkan
kadang-kadang terjadi gejolak. Hatta adalah pengkritik paling tajam sekaligus
sahabat hingga akhir hayat Soekarno. Dinamika hubungan Soekarno dengan Mohammad
Hatta sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang berlaku pada saat itu.
Moh. Mahfudz, (1998:373-375) dalamPolitik Hukum di Indonesia, secara lebih spesifik
menguraikan perkembangan konfigurasi politik Indonesia ketika itu sebagai
berikut:
Pertama, setelah
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, terjadi pembalikan arah dalam
penampilan konfigurasi politik. Pada periode ini konfigurasi politik menjadi
cenderung demokratis dan dapat diidentifikasi sebagai demokrasi liberal.
Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1959, dimana Presiden Soekarno
menghentikannya melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada periode ini pernah
berlaku tiga konstitusi, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS
1950. Konfigurasi politiknya dapat diberi satu kualifikasi yang sama, yaitu
konfigurasi politik yang demokratis. Indikatornya adalah begitu dominannya
partai-partai politik;
Kedua,
konfigurasi politik yang demokratis pada periode 1945-1959, mulai ditarik lagi
ke arah yang berlawanan menjadi otoriter sejak tanggal 21 Februari 1957, ketika
Presiden Soekarno melontarkan konsepnya tentang demokrasi terpimpin. Demokrasi
Terpimpin merupakan pembalikan total terhadap sistem demokrasi liberal yang
sangat ditentukan oleh partai-partai politik melalui free fight (Yahya
Muhaimin, 1991:42, Bisnis dan Politik, Kebijaksanaan Ekonomi
Indonesia 1950-1980.
Jakarta : LP3ES).
Sejak zaman pergerakan nasional, hubungan Soekarno
dengan Mohammad Hatta yang seringkali disebut Dwitunggal, terjalin dengan baik.
Sejak tahun 1930-an, keduanya telah beberapa kali ditahan dan diasingkan
oleh pemerintah kolonial Belanda, karena dianggap berbahaya bagi pemerintahan
kolonial. Pada masa pendudukan Jepang, kedua tokoh ini mendapatkan pengakuan
sebagai wakil-wakil rakyat Indonesia. Pada saat penyusunan naskah Proklamasi,
keduanya terlibat dalam proses penyusunan naskah teks proklamasi kemerdekaan.
Pada detik-detik menjelang pembacaan naskah proklamasi, Soekarno menolak
desakan para pemuda untuk membacakan teks proklamasi lebih awal karena Mohammad
Hatta belum datang. Ketika itu, Bung Karno berkata: “Saya tidak akan membacakan Proklamasi
kemerdekaan jika Bung Hatta tidak ada. Jika mas Muwardi tidak mau menunggu Bung
Hatta, silahkan baca sendiri, jawab Bung Karno kepada dr. Muwardi
salah satu tokoh pemuda pada waktu itu yang mendesak segera dibacakan teks
Proklamasi. Begitu percayanya Soekarno kepada Mohammad Hatta, pada tahun
1949, ia meminta agar Mohammad Hatta selain menjadi Wakil Presiden, sekaligus
juga menjadi Perdana Menteri.
Mohammad
Hatta selalu menekankan perlunya dasar hukum dan pemerintahan yang bertanggung
jawab, karena itu Hatta tidak setuju ketika Presiden Soekarno mengangkat
dirinya sendiri sebagai formatur kabinet yang tidak perlu bertanggung jawab,
tidak dapat diganggu gugat, serta menggalang kekuatan-kekuatan revolusioner
guna membersihkan lawan-lawan politik yang tidak setuju dengan gagasannya.
Konflik ini mencapai puncaknya. Setelah pemilihan umum 1955, Presiden Soekarno
mengajukan konsep Demokrasi Terpimpin pada tanggal 21 Februari 1957 di hadapan
para pemimpin partai dan tokoh masyarakat di Istana Merdeka. Presiden Soekarno
mengemukakan Konsepsi Presiden, yang pada pokoknya berisi:
1. Sistem Demokrasi Parlementer secara Barat, tidak sesuai dengan
kepribadian Indonesia, oleh karena itu harus diganti dengan Demokrasi
Terpimpin.
2. Untuk pelaksanaan Demokrasi Terpimpin perlu dibentuk suatu kabinet
gotong royong yang angotanya terdiri dari semua partai dan organisasi
berdasarkan perimbangan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Konsepsi Presiden
ini, mengetengahkan pula perlunya pembentukan Kabinet Kaki Empat yang
mengandung arti bahwa keempat partai besar, yakni PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama
(NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI), turut serta di dalamnya untuk
menciptakan kegotongroyongan nasional.
3. Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan-golongan
fungsional dalam masyarakat. Dewan Nasional ini, tugas utamanya adalah memberi
nasihat kepada Kabinet, baik diminta maupun tidak diminta.
Dengan konsep yang diajukan Soekarno itu,
Hatta menganggap Bung Karno sudah mulai meninggalkan demokrasi dan ingin
memimpin segalanya. Sebagai pejuang demokrasi, ia tidak dapat menerima perilaku
Bung Karno. Padahal, rakyat telah memilih sistem demokrasi yang mensyaratkan
persamaan hak dan kewajiban bagi semua warga negara dan dihormatinya supremasi
hukum. Bung Karno mencoba berdiri di atas semua itu, dengan alasan rakyat perlu
dipimpin dalam memahami demokrasi yang benar. Jelas, bagi Bung Hatta, ini
adalah sebuah contradictio in terminis. Di satu
sisi ingin mewujudkan demokrasi, sedangkan di sisi lain duduk di atas
demokrasi. Pembicaraan, teguran, dan peringatan terhadap Soekarno, sahabat seperjuangannya,
telah dilakukan. Tetapi Soekarno tidak berubah sikap. Sebaliknya, Hatta pun
tidak menyesuaikan dirinya dengan pandangan sikap dan pendapat Soekarno.
Mohammad Hatta telah mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden, sebelum Soekarno
menyampaikan konsep Demokrasi Terpimpin secara resmi. Pada tanggal 1 Desember
1956, Mohammad Hatta mengirimkan surat pengunduran dirinya sebagai Wakil
Presiden kepada DPR hasil Pemilihan Umum 1955. Pada tanggal 5 Februari 1957
berdasarkan Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1957, Presiden Soekarno
memberhentikan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Namun, pengunduran diri
Mohammad Hatta dari posisi Wakil Presiden tidak mengakibatkan hubungan pribadi
keduanya menjadi putus. Bung Karno dan Bung Hatta tetap menjaga persahabatan
yang telah mereka jalin sejak lama.
Pengunduran
diri ini lebih disebabkan oleh karena perbedaan pendapat dengan Presiden.
Pengunduran diri Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden, tidak diikuti dengan
gejolak politik. Juga tidak ada tekanan-tekanan dari pihak luar. Perbedaan
pendapat antara Mohammad Hatta dengan Soekarno, lebih kepada visi dan
pendekatan Mohammad Hatta yang berbeda dengan Soekarno dalam mengelola
Negara. Perbedaan itu, sesungguhnya telah terjadi sejak awal. Namun, perbedaan
itu makin memuncak pada pertengahan tahun 1950-an. Soekarno menganggap revolusi
belum selesai, sementara Hatta menganggap sudah selesai sehingga pembangunan
ekonomi harus diprioritaskan (Adnan Buyung Nasution, Refleksi Pemikiran Hatta Tentang Hukum dan HAM,
Jakarta: CIDES, 20 Juni 2002).
Meskipun telah
mengundurkan diri, banyak orang yang menghendaki agar Bung Hatta aktif kembali.
Di dalam Musyawarah Nasional tanggal 10 September 1957, dibahas “Masalah
Dwitunggal Soekarno-Hatta Demikian pula di DPR, beberapa anggota DPR mengajukan
mosi mengenai “Pemulihan Kerjasama Dwitunggal Soekarno-Hatta. DPR kemudian
menerima mosi mengenai Pembentukan Panitia Ad Hoc untuk mencari “bentuk
kerjasama Soekarno-Hatta. Panitia itu dibentuk pada tanggal 29 November 1957
dan dikenal sebagai Panitia Sembilan?, yang diketuai oleh Ahem Erningpraja.
Namun, Panitia Sembilan ini dibubarkan pada Bulan Maret 1958 tanpa menghasilkan
sesuatu yang nyata (Sekretariat Negara RI, 1981: 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964).
Pada sisi lain, Mohammad Hatta adalah Wakil Presiden yang mampu menjadi satu
kesatuan dengan Presiden Soekarno, sehingga seringkali disebut Dwitunggal.
Pelaksanaan konsep Dwitunggal Soekarno-Hatta telah menempatkan kedudukan dan
fungsi Wakil Presiden menjadi sama dengan Presiden, padahal menurut UUD 1945
kedudukan Wakil Presiden adalah sebagai Pembantu Presiden? serta dapat
menggantikan Presiden jika Presiden berhalangan. Fenomena ini menjadi semakin
jelas apabila diperhatikan praktik ketatanegaraan yang berlangsung antara tahun
1945 sampai tahun 1956. Pada masa ini, Wakil Presiden banyak melakukan
tindakan mengumumkan/ mengeluarkan peraturan perundang-undangan antara lain,
Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 Oktober 1945; Maklumat Pemerintah tanggal
17 Oktober 1945 tentang Permakluman Perang; Maklumat Pemerintah tanggal 3
November 1945 tentang pendirian partai politik; dan Undang-undang Nomor 16
Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya.
Pada saat berlaku UUD RIS 1949 dan UU Nomor 7 Tahun 1949 tentang
Penunjukkan Pemangku Sementara Jabatan Presiden Republik Indonesia, Indonesia
menganut sistem parlementer. Jika keadaan ini dihubungkan dengan persoalan
Presiden berhalangan serta pengisian jabatannya untuk sementara oleh Wakil
Presiden, maka tindakan yang dilakukan oleh Wakil Presiden di bidang
ketatanegaraan dapat ditafsirkan sebagai suatu pengisian jabatan Presiden untuk
sementara oleh Wakil Presiden. Dari sudut konsep Dwitunggal, maka tindakan
Wakil Presiden merupakan perwujudan dari konsep itu.
Tidak lama setelah itu,
Indonesia mengadopsi undang-undang baruyang
terdiri dari sistem parlemen di mana dewan eksekutifnya dipilih oleh dan
bertanggung jawab kepada parlemen atau MPR. MPR terbagi
kepada partai-partai politik sebelum dan sesudah pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga
koalisi pemerintah yang stabil susah dicapai. Peran Islam di
Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno lebih memilih negara sekuler yang berdasarkan Pancasila sementara beberapa kelompok Muslim
lebih menginginkan negara Islam atau undang-undang yang berisi sebuah bagian
yang menyaratkan umat Islam takluk kepada hukum Islam.
2. Demokrasi Terpimpin
Pemberontakan
yang gagal di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat
dan pulau-pulau lainnya yang dimulai sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk
mengembangkan konstitusi baru, melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya
pada 1959 ketika Presiden Soekarno secara
unilateral membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat sementara, yang
memberikan kekuatan presidensil yang besar, dia tidak menemui banyak hambatan.
Dari 1959
hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim yang otoriter di bawah
label “Demokrasi Terpimpin“. Dia juga menggeser kebijakan luar
negeri Indonesia menuju non-blok, kebijakan yang didukung para pemimpin penting
negara-negara bekas jajahan yang menolak aliansi resmi dengan Blok Barat maupun
Blok Uni Soviet. Para
pemimpin tersebut berkumpul di Bandung, Jawa Barat pada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk mendirikan fondasi yang kelak
menjadi Gerakan Non-Blok.Pada
akhir 1950-an dan awal 1960-an, Soekarno
bergerak lebih dekat kepada negara-negara komunis Asia dan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meski PKI
merupakan partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan China, dukungan
massanya tak pernah menunjukkan penurutan ideologis kepada partai komunis
seperti di negara-negara lainnya.
3. Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Soekarno menentang
pembentukan Federasi Malaysia dan menyebut bahwa hal tersebut adalah
sebuah “rencana neo-kolonial” untuk mempermudah rencana komersial Inggris di wilayah tersebut. Selain itu dengan
pembentukan Federasi Malaysia,
hal ini dianggap akan memperluas pengaruh imperialisme negara-negara Barat di kawasan Asia
dan memberikan celah kepada negara Inggris dan Australia untuk mempengaruhi
perpolitikan regional Asia. Menanggapi keputusan PBB untuk mengakui kedaulatan Malaysia dan
menjadikan Malaysia anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, presiden Soekarno mengumumkan
pengunduran diri negara Indonesia dari keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mendirikan Konferensi Kekuatan
Baru (CONEFO) sebagai
tandingan PBB dan GANEFO sebagai tandingan Olimpiade. Pada
tahun itu juga konfrontasi ini kemudian mengakibatkan pertempuran antara
pasukan Indonesia dan Malaysia (yang dibantu oleh Inggris).
4. Nasib Irian Barat
Pada saat
kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan terhadap belahan barat pulau Nugini (Papua), dan mengizinkan
langkah-langkah menuju pemerintahan-sendiri dan pendeklarasian kemerdekaan pada 1 Desember 1961. Negosiasi
dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia gagal,
dan pasukan penerjun payung Indonesia mendarat di Irian pada 18 Desember sebelum kemudian terjadi pertempuran
antara pasukan Indonesia dan Belanda pada 1961 dan 1962. Pada 1962 Amerika
Serikat menekan Belanda agar setuju melakukan perbincangan rahasia dengan
Indonesia yang menghasilkan Perjanjian New York pada
Agustus 1962, dan Indonesia mengambil alih kekuasaan terhadap Irian Jaya pada 1 Mei 1963.
5. Gerakan 30 September
Hingga 1965, PKI telah menguasai
banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno untuk memperkuat dukungan
untuk rezimnya dan, dengan persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye untuk
membentuk “Angkatan Kelima” dengan mempersenjatai pendukungnya.
Para petinggi militer menentang hal ini. Pada 30 September 1965, enam jendral
senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal
istana yang loyal kepada PKI. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu,
Mayjen Soeharto, menumpas
kudeta tersebut dan berbalik melawan PKI. Soeharto lalu menggunakan situasi ini
untuk mengambil alih kekuasaan. Lebih dari puluhan ribu orang-orang yang
dituduh komunis kemudian dibunuh. Jumlah korban jiwa pada1966 mencapai setidaknya 500.000; yang
paling parah terjadi di Jawadan Bali.